Senin, 23 Februari 2009

mampukah kau bertanya?

Cerita, canda dan kata tlah kita jadikan sejarah sebagai awal hidup ini melangkah. Ku ambil setiap makna di dalamnya dan ku jadikan arahku ini. Hingga ku ukir sejarah pada batuan ditengah magma yang mengalir. Ku lindungi batu tersebut dengan tubuh dan tulangku. Sungguh tiada ku merasa sakit menahannya.

kini ku teringat saat kita pertama kali bertemu, tak ada rasa, tak ada cinta dan kasih sayang, semua terlampaui begitu saja tiada kenangan berarti. Kau tersenyum padaku, aku pun juga membalasnya, kau menyapaku aku pun juga, meski kita belum saling mengucap nama. Rasa tenag tanpa beban dalam hati tak mampu ku sembunyikan, di saat aku membutuhkanmu kau ada untuk menghancurkan bebanku. semakin lama muncul pertanyaan “siapa gerangan dia yang telah mengalihkan beban hidupku?”

Meski pun aku tak butuh jawabannya, dialah yang memberitahuku siapa dia sebanarnya tanpa ku tanya, kulihat dari senyum yang ikhlas memancarkan ketenangan hati mengharap akan ridho-Nya, ku melihat merah pipinya sungguh sedap dipandang, gerakan tubuhnya yang tulus membantu sahabatnya menghanyutkan bagi mereka yang merasakan halusnya tangan ringan tuk memberi, suaranya lembut membelah dinginnya bumi hingga sampai di telingaku merasuk pada aliran darahku dan berputan kencang di setiap organ yang dilaluinya, hanya satu ungkapan dari bibirnya, dengan sangat lirih ia berkata, “gapailah kehidupan di dunia dengan semangat yang mengalir di setiap sel pada tubuhmu, kejarlah kehidupan akhirat dengan dzikir mengalir di setiap aliran hidupmu, dekatlah pada Allah atas segala yang ada pada dirimu dan lingkunganmu, iman, Islam dan ikhsan selalu tanamkan pada pikiranmu hingga akarnya memenuhi dalamnya hatimu, batangnya sebagai perantara hidupmu, dan daungnya sebagai kesejukanmu.” Sungguh makna apa yang terkandung di dalam dirinya aku tetap tak mengerti, persaan takut mulai menghampiriku, akankah muncul rasa cinta tanpa kasih sayang di antara kita?

Rasa ini menarikku kencang tubuhku terpelanting jatuh ke dasar kegelapan hingga membuatku untuk berpikir ulang. Pada sudut kegelapan kubuka lebar mataku mesku tiada yang ku lihat, ku dengarkan semua yang ada meski tiada suara yang ku dengarkan, kurasakan dinginnya hidup menusuk di setiap pori kulit, hingga bernafaspun ku tak mampu. Dalam hati ku mengiba “sanggupkah ku meninggalkannya pergi untuk sementara atau pergi tanpa ku ucap selamat tinggal, atau pergi tak pernah kembali?”

Saat ku meninggalkannya perlahan rasa itu sirna, namun ketika ada yang mengatakan namanya, hanya dengan namanya, rasa itu merasuk kembali menyelubungiku tanpa bisa ku tahan dahsyatnya aliran yang merasuk pada inti setiap sel yang membrannya tak sanggup di tembus virus.

Ku tertunduk pada rendah tanah, menghadapkan wajahku pada dasarnya bumi, aku kubur tubuhku pada kedalaman tanah, bersembunyi pada inti matahari tiada berguna. Seraya ku bangkit dan menghadap kepada-Nya “ Ya Tuhan perasaan apakah ini? Sanggupkah ku menahan rasa yang tertancap bagai pedang menusuk perisai tebal? Ku berharap melalui mukjuzat-Mu aku mendapatkan mereka yang mampu mengerti akan dalamnya palung hatiku.”

Tahukah kau aku di sini menunggumu. Sering ku berharap dia ada untukku dan disini dengan seluruh sahabatku kita bersama melangkah menuju haribaan-Nya yang terang dan suci. Bisa untuk aku gambarkan bagaimana sesungguhnya dia. Namun tak kuasa mata ini melihatnya, bergetar seluruh jiwa dan raga ini tanpa bisa aku mengendalikannya, tak sanggup aku palingkan wajahku dari hadapannya, hingga cahaya terang dari Zat Yang Maha Suci-lah yang dapat melepaskanku dari jeratan ini. Ku bersyukur hanya melihat bayangannya dalam media semu seandainya ku berhadapan denganmu bisakah kau merasakan betapa dahsyatnya getaran hatiku?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar